Cerpen

Published on

== DERAI AIR MATA ==
Oleh: ©full the kick

Dari sebuah lagu Jepang, entahlah aku jadi terinspirasi menuliskan kembali, arti 'derai air mata' ini.


夏川りみ – 涙そうそう
Rimi Natsukawa – Nada Sousou (Derai Air Mata)


古いアルバムめくり ありがとうってつぶやいた
(Furui arubamu mekuri, arigatou tte tsubuyaita)
いつもいつも胸の中 励ましてくれる人よ
(Itsumo itsumo mune no naka, hagemashite kureru hito yo)
晴れ渡る日も雨の日も 浮かぶあの笑顔
(Harewataru hi mo ame no hi mo, ukabu ano egao)
想い出遠くあせても おもかげ探して
(Omoide touku asete mo, omokage sagashite)
よみがえる日は涙(なだ)そうそう
(Yomigaeru hi wa nada sousou)

Kubuka album usang dan berbisik “terima kasih”
Selalu, selalu ada di dalam hatiku, kau yang menyemangatiku
Hari cerah maupun hari hujan, senyumanmu selalu terbayang
Kalau saja kenangan ini akan memudar, aku terus mencari bayangmu
Ketika kenangan lama bangkit kembali, aku selalu menitikkan air mata

一番星に祈る それが私のくせになり
(Ichiban boshi ni inoru, sore ga watashi no kuse ni nari)
夕暮れに見上げる空 心いっぱいあなた探す
(Yuugure ni miageru sora, kokoro ippai anata sagasu)
悲しみにも喜びにも 思うあの笑顔
(Kanashimi nimo yorokobi nimo omou ano egao)
あなたの場所から私が見えたら
(Anata no basho kara watashi ga mietara)
きっといつか 会えると信じ生きてゆく
(Kitto itsuka aeru to shinji ikite yuku)

Berdoa untuk bintang pertama, tanpa sadar menjadi kebiasaanku
Menengadah ke langit senja di hari sore, aku mencari bayangmu dengan sepenuh hati
Di kala suka maupun duka, aku selalu merindukan senyumanmu
Jika aku terlihat dari tempatmu berada
Aku hidup dengan keyakinan bahwa kita pasti bisa bertemu lagi

晴れ渡る日も雨の日も 浮かぶあの笑顔
(Harewataru hi mo ame no hi mo, ukabu ano egao)
想い出遠くあせても
(Omoide touku asete mo)
さみしくて恋しくて 君への想い涙そうそう
(Samishikute koishikute, kime e no omoi nada sousou)
会いたくて会いたくて 君への想い涙そうそう
(Aitakute aitakute, kimi e no omoi nada sousou)

Hari cerah maupun hari hujan, senyumanmu selalu terbayang
Kalau saja kenangan ini akan memudar
Merindukanmu, rindu padamu ...
kenangan akan dirimu membuatku menitikkan air mata
Kuingin bertemu, bertemu denganmu ...
kenangan akan dirimu membuatku menitikkan air mata

***

Iringan 'Nada Sousou' menggerakkan tangan meraih sebuah buku kecil yang selalu aku selipkan di bawah tempat tidur. Sebuah album diary coklat pudar—yang seharusnya selama hidup satu ini--lalu membukanya pelan. Aku mengamati foto kita, aku dan kamu. Ya, hanya berdua. Menatapnya lekat gambar senyumku, senyummu, dan ... tanpa terasa air mata pun berderai.

Aku cepat-cepat tutup kembali album itu, sembari mengusap bagian sampul yang tertetesi air mata. Huruf timbul tanpa sadar terpegang satu-satu, "Buku Nikah" desisku lirih. Kembali mengusap lelehan di pipi dan hidung dengan punggung jemari.


"Terima kasih, kenangan ...," gumamku lirih dan beranikan membuka ulang, dan tetap foto kita memandangnya lekat. Andai dulu selalu ada yang menyemangati dalam setiap waktu ..., kini ke mana? batinku bergolak. Angan pun melayang ke waktu 10 tahun yang terlewat.

"Aku masih sangat ingat!" gumamku, "bahkan lekat! Oh, laknatkah aku?!"

Ahad pagi yang indah, sebelum memasuk area Masjid Raya Nurul Hidayah, tepatnya di kota pantai di sebuah kepulauan daerah timur negeri ini. Aku berdiri tegap dengan jas hitam lengkap dengan beratus pengantar. Perjalanan 200 meter itu kian unik saat rebana bertalu. Lelagu 'shalawat' dan beberapa pantun kian menegakkan muka ketika melangkah. Di pintu gerbang masjid—aku sempat melirik raut wajahmu yang tersenyum—, ternyata dari arah berlawanan aku melihat bidadari berbaju kebaya putih berkilauan. Oh, Tuhan betapa cantiknya dia dengan baju yang beberapa hari lalu aku berikan—memang khusus membawanya dari kampung ibunda.

Kamu wahai bidadari hati, pencerah masa keemasan yang sebentar lagi aku buktikan. Setelah bersalam baik pada para tetetua maupun pada bangunan baitullah, aku memasuk. Di dalam telah tertata sangat rapi. Sekitar 15 menit kamu menyusul. Hanya 'berhak' melirik karena aku ..., aku masih dihalangi oleh orang tuamu dan dua lelaki samping kiri kananku. Bahkan saat sang Imam Masjid datang, ia langsung duduk tepat di depanku bersila berjarak satu meja kecil.


Entah ... kenapa darah keberanianku saat itu seperti seorang panglima terkuat yang di kelilingi 700 prajurit pun tak gentar.

"Siap!" tanya Pak Imam pada ayahmu.

"Saya, Wali Nikah anak 'Nur Khaharuddin binti Khaharuddin' memandatkan kewalian saya pada Pak Imam," jawabnya tegas.


Jadi ..., oh, jadi yang di depanku ini yang menjadi wakil ayahnya. Ah, pasti bisa walau aku mengenal beliau sangat menyukai bacaan-bacaan panjang, karena pernah merasakaan jadi makmum shalat, bisa 20 menit satu surat. Aku berpikir, bukankah harus berjuang untuk bidadariku? Hemmm ... pasti bisa! yakinku dalam hati.


Plegg!
Buku diary coklat pudar pun kututup dan mendekapnya lagi.


***
Belum ending ....

Cerpen

Published on Cerpen

To be informed of the latest articles, subscribe:
Comment on this post