Cerpen

Published on

== Harus selalu Mengingat 31 Desember ==

 

Oleh: Dekik 'full' Yassir

Putaran jarum jam tetap arahnya, namun satu-satu raut muka berubah. Tak terasa peredaran telah menyulap semua yang ada. Yang kemarin recup, kini bertunas, yang kuncup kini berbermekar, bahkan beberapa waktu lalu bocah kini telah dewasa. Tidak beda dulu bersuka ria karena dinaungi asmarandana remaja, kini telah mulai layu; menua dikitari belia-belia. Lalu, kamu dan dia, masihkah ingat? Saat di sebuah pondok, tepatnya di Resto Sea Foods, menunggu dan jadi saksi pergantian tahun, akulah sang pemandunya. Ya, saat itu menjadi saksi ucapanmu, "Inginku detik ini memulai sebuah kisah baru bersama dalam ikatan 'cinta'." 

***

Kamu kisahkan 15 hari sebelumnya di dermaga pinggir kota kecil di pulau Flobamora. Debur ombak memecah sunyi bersama beberapa burung laut, kamu baitkan kalimat sedih karena sendirian. Hanya kail dan umpan menjadi peneman. Bermain-main dengan ikan-ikan, itu pun bila umpan dimakannya, menyendiri menghisap sebatang pengasap. Tak terasa (terkadang) dua bungkus pun tak pernah juga terhitung habisnya uang yang telah terbakar. "Puaskah?"

Namun rautmu waktu itu tetap menggeleng dan sekedar, hemmm ..., dan melanjutkan lagi menghayalkan ikan datang memakan umpan. "Bodoh!" Itu yang kamu katakan sebenarnya. 

Dooot! Dooot! Dooot! Tulikah telingamu? Kalau tidak kenapa diam? jelas terlihat dari tempatmu duduk, sebuah kapal besar siap bersandar, namun kamu geming, bahkan semakin asik menikmati tarikan ikan pertama, "Oh, umpanku termakan!" teriakmu girang. Ya, mungkin Tuhan kasihan jadi mengirimkan seekor ikan, agar segera menggulung kail dan berlalu pulang. 

Jika bukan karena adil-Nya, mana mungkin? Kamu; pemuda pemalas, pekerjaan pedagang sering terlupakan untuk mengail ikan dengan kilah, "Ini hobby!" Bah! Jika kesukaan tentu kamu akan lebih suka bekerja, setelah semuanya selesai baru memancing, tapi ...? Setelah melihatmu setiap kali di dermaga seperti itu jelas karena kesepian. Ya, merasa sediri dan belum bisa memandirikan hati dan sebaiknya doamu terkabul. Seperti waktu itu,Tuhan mengirimkan bidadari. 

*** 

Seperti dongeng, itu menurut tutur katamu, tetapi ingat ... ingatlah! Ada saksinya. Setelah mereka, penumpang kapal bak laron berhamburan dari sarang. Satu, dua, tiga ...! Mulailah pengunjal dan penjemput membawa kabur di antaranya. Beruntunglah kamu teman, seorang bidadari ditunjuk-Nya melangkah menuju motormu yang terparkir menganggur. "Ojek, Kak?" Sadis, sungguh teramat sadis, karena sapaannya teramat manis untuk pria brengsek sepertimu. Waktu itu ada yang iri, dengki bahkan mengumpat maki, "Begitu adilnya Tuhan. Jika mata bidadari itu [tidak] tiada melihat motormu parkir, kamu tetap seperti biasa. Penyendiri yang gila, pengail ikan, bukan?" 

"Oh ..., hmm, i-i-iya, Nona!" jawabmu, "ke mana antarnya?" lanjutmu sok gagap karena netramu tak bisa berkedip lagi menelanjangi kecantikan dan keanggunannya. "Perumahan Masjid Raya, Kak? Tetapi benarkah Kake' ojek?" 

"Oh, ti-dak. Eh, Iya ... tidak juga, te-tetapi biar aku antar Nona!" Rayuanmu bak ombak menggulung, rasanya membuat mual, tetapi kembali karena 'takdir' [mungkin] jadi ada yang tetap bungkam. 

Begitu mudahnya dia, Laila, gadis yang baru turun dari K.M Kirana II membonceng di motormu, setelah mengulur waktu dengan berpura-pura segera menarik mata kail di benang pancing. Padahal ada yang tahu itu hanya sekadar ingin mengetahui siapa dia, kan? Bah! Karena angin berhembus membisikkan sesuatu dari alam pikirmu.

"Pulang kuliah ya, Nona."

"Ya, Kak. Jangan panggil Nona, panggil saja Laila," jawabnya sembari menyodorkan jemari lentiknya untuk berjabat. Lembut kulitnya, apalagi paduan hijab hijau yang serasi menutup tiap helaian rambut dan pancaran paras ayu, tentu saja menggoreskan batas khayalan. Belum lagi semerbak wangi memicu hidungmu berkembang kempis merasai tiap sepoi yang meniup. Terulang kali keberuntungan di pojok dermaga, deburan ombak menjadi melodi perkenalanmu dengannya.

"Syaputra," jawabmu berlagak tegas. Sementara ikan yang sedari tadi tak berkedip--seandainya bisa--ingin menertawai. Sialnya dia telah kamu tekuk mati, dan muluslah jalanmu hari itu. Ya, hari di mana Laila mengatakan beruntung mendapatimu sendirian di dermaga. Padahal 'busyeet!' seharusnya kamu yang ketiban emas.

***

Sejauh mata memandang laut biru dan cakrawala dihiasi mega putih, indahnya 16 Desember tepat di angka jarum jam 16:15 WITA. Saat itu kapal Kirana II buritannya terlihat berlabuh menjauh, melanjutkan misi perjalanan. Kamu meneruskan nikmati rejeki runtuh yang menimpa. Setelah berpuluh menit bahkan hampir setengah jam perkenalan, akhirnya kalian melenggang dan kamu tertawa girang mengantarnya pulang. Jangan pernah terlupakan ada yang turut membuntuti lajumu.

Dalam perjalanan senyummu sangat lain dari biasanya. Sungguh bahagia, tawaran yang terembus lewat napas dan degub jantung yang terkadang tak beraturan. "Terima kasih, Bu. Ah, tidak usah ... kebetulan saja tadi Laila datang menyambangi saya sewaktu mancing," tolakmu setiba di rumah. Ibunya hendak memberikan ongkos ojek. Ternyata tak lain beliau tetangga jualanmu di kios pasar.

"Masuk dulu kalu begitu, Nak Putra." Ibu Laila memberimu angin segar, tentu saja tak mungkin menolak. Ini kesempatan mendekati orang tuanya, batinmu.

***

Ceritamu menggoyangkan keberadaanku. Perubahan besar-besaran terlihat nyata. Mata siapa yang tak terpana mendapati kamu setelah hari itu. Bahkan sepi; sendiri yang selama ini terkeluhkan pun mati. Hampir saja aku terlupa kala kamu berubah sikap sopan, manis, dan bergaya rapi. Gara-gara Laila yang menggoyahkan niatmu, kan? Ya, sering kamu mendesah, setelah 10 hari bisa berdekatan dengannya, saat Laila ke kios orang tuanya. Degub dag ...dig .. dug, "Aku, a-aku sepertinya telah jatuh hati! Dan ini pertama kali, indah walau harus bersiap kalah."

Sepantasnya kamu selalu berterima kasih [seperti] dalam rekaat dan dedoamu yang waktu itu, 31 Desember aku datang menemani. Dalam permintaan terikrarkan untuk segera memulai, harus memberanikan diri mengungkapkan 'cinta' yang masih dini berkuncup.

"Sebentar malam ada acara ndak, Dik?" rayumu ke Laila, "aku ingin mengajakmu menghabiskan malam terakhir tahun ini," lanjutmu berkilah.

"Tidak! Kalau itu uruasannya itu, Kak!" jawab Laila, "tetapi ke mana ya? Dan siapa saja, Kak?"

"Ya, berdua, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, Dik."

"Hemm pasti yang baik, kan?" goda Laila, karena melihat mukamu yang memerah. Dia pun mengangguk tanda setuju, lalu jemarinya memberi kode delapan alias jemput jam 20:00.

***

Sedari senja tak kepalang girang, sisir rambut tak terhitung berapa kali, seprot parfum membuatku neg* karena terlalu banyak, bila kau tau! Aku setia menemani seperti pintamu, selalu berusaha untuk diberi usia yang panjang, dan tanpa terasa akan tambah lagi satu tahun beredar. Sesuai janji dan yang terencana di benakmu, Resto Pondok Bambu tempat terindah untuk mengucapkan rasa. Bukan tanpa halangan, tetapi semua sudah suratan takdir, tetap 23:59, 31 Desember--yang kau sering katakan aku--kamu bisa dengan mulus mendekap jemari Laila.

"Dik, detik terkhir tahun ini jadi saksi. Aku cinta kamu."

Terbelalak Lalia, binarnya bukan redup, seindah kembang api penghias malam itu. Dia tersipu malu, lalu menjawab ungkapan perasaanmu, "Maaf, Kak. Aku belum bisa menerimanya."

"Kenapa? Karena kita baru beberapa hari mengenal, ya?"

"Bukan! Oh, bukan itu, Kak."

"Lalu ...,"

"Aku ingin, itu diucapkan di ijab kabulku?" tegas Laila.

Dug! Dadamu seraya sesak, lidahmu terasa kelu, dan ... kambuh gagapmu, "Mak-mak-maksudmu, Dik?"

"Lamar aku segera, Kak," jawabnya tertuntuk malu.

Andai waktu itu aku, bumi, maka akan berputar sekuat tenaga agar kamu pusing dan pingsan atau berguncang kuat supaya jatuh terjerebab. Beruntung aku hanya pengikut bayang-bayang yang mengantar, menemani, dan menjadi saksi atas bahagiamu. "Selamat!"

***

31 Desember itu kini telah 11 tahun berlalu, kamu dan aku tetap seperti dulu. Aku sangat setia pada seri-seri kehidupan dan nyatanya benar, walau kamu dan Laila telah berubah status.Berpisah. Berkeadaan logo diri masing-masing dengan bekas buah cinta, kamu selalu meminta pada-Nya. Aku menemanimu tiap akhir tahun terlewat, selalu ada, dan membekaskan goresan kenangan baru. Bukan untuk disesali, tetapi kamu syukuri.

 

---end---

Cerpen

Published on Cerpen

To be informed of the latest articles, subscribe:
Comment on this post